Sejarah dan Perkembangan Pengobatan dengan Makanan di Tiongkok
Penggunaan makanan sebagai obat telah menjadi bagian penting dari tradisi kesehatan di Tiongkok sejak zaman kuno. Literatur tentang khasiat obat dari makanan berkembang pesat di negeri tersebut, menunjukkan weiwokchinesebistro.com bagaimana masyarakat Tiongkok sejak lama memahami bahwa makanan tidak hanya sebagai sumber nutrisi, tetapi juga dapat digunakan untuk mengobati berbagai penyakit.
Pada pertengahan abad ke-9, sebuah karya yang kini sudah hilang berjudul Candid Views of a Nutritionist-Physician (dalam bahasa Mandarin: 食医心鉴) pernah membahas secara mendalam bagaimana makanan dapat digunakan untuk mengatasi beragam gangguan kesehatan. Karya-karya selanjutnya dari masa Dinasti Song (960–1279) juga menjelaskan metode pemberian makanan khusus untuk para lansia dengan tujuan memperpanjang umur mereka.
Pada awal abad ke-14, Hu Sihui, yang menjabat sebagai Grand Dietician (dokter ahli makanan) di istana Dinasti Yuan (1260–1368), menyusun sebuah risalah penting berjudul Yinshan zhengyao atau Proper and Essential Things for the Emperor’s Food and Drink (dalam bahasa Mandarin: 饮膳正要). Buku ini masih diakui di Tiongkok sebagai karya klasik yang menggabungkan ilmu materi medica (ilmu obat) dan materi dietetika (ilmu gizi dan makanan).
Risalah Hu Sihui menunjukkan pengaruh besar dari tradisi kuliner dan medis Turko-Islam yang juga menjadi bagian dari kekaisaran Mongol pada saat itu. Selain itu, Hu memasukkan bahan makanan khas Mongol seperti daging kambing dalam resep-resepnya. Dia menafsirkan efek makanan berdasarkan skema lima fase (wuxing), yang merupakan konsep kuno Tiongkok yang mengaitkan rasa makanan dengan organ dalam tubuh dan efek terapeutik yang dihasilkan. Sistematisasi ini mulai dikembangkan oleh para penulis medis di utara Tiongkok pada masa Dinasti Jin (1115–1234) dan Dinasti Yuan.
Sebelum masa tersebut, bahan makanan belum diklasifikasikan secara lengkap dan sistematis ke dalam lima rasa yang masing-masing berhubungan dengan organ-organ tubuh dan khasiat penyembuhan tertentu. Dengan pengelompokan ini, makanan tidak hanya dipandang dari segi gizi, tetapi juga sebagai elemen terapi yang terintegrasi dalam sistem kesehatan tradisional.
Pemahaman Tiongkok mengenai efek terapeutik makanan ini sangat berpengaruh di Asia Timur. Sejak abad ke-10, karya-karya dietetika Tiongkok telah dikutip dalam literatur Jepang. Selain itu, pengaruhnya juga merambah ke Korea, terutama selama periode Joseon (1392–1897), di mana literatur mengenai makanan kesehatan sangat dipengaruhi oleh tradisi Tiongkok. Bahkan pada akhir abad ke-17 hingga awal abad ke-18, istana Dinasti Qing (1644–1912) memerintahkan beberapa karya tentang terapi makanan diterjemahkan ke dalam bahasa Manchu.
Konsep pengobatan dengan makanan ini kemudian masuk ke Jepang secara modern pada tahun 1972 dengan istilah ishokudōgen. Pada akhir 1990-an, diet yakuzen berkembang menjadi versi yang lebih sederhana, di mana herbal tertentu ditambahkan ke dalam makanan yang sudah relatif seimbang guna meningkatkan khasiat kesehatan.
Secara keseluruhan, tradisi pengobatan dengan makanan di Tiongkok menunjukkan bagaimana ilmu kuliner dan kesehatan dapat bersatu untuk menciptakan pendekatan holistik dalam menjaga dan memperbaiki kesehatan. Warisan ini terus memberikan pengaruh hingga saat ini, tidak hanya di Tiongkok tetapi juga di berbagai negara Asia Timur lainnya.